PERAN GENERASI MUDA DALAM MENINGKATKAN
SOLIDARITAS PADA MASYARAKAT MULTIETNIK
Oleh
ANUGRAH KRISMAN JAYA ZEBUA
(NPM : 11212004)
(KELAS : 1EA13)
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas RidhoNya yang melimpah,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya tulis ini yang berjudul “peran
pemuda dalam meningkatkan solidaritas pada masyarakat multietnik”.
Dalam
mengerjakan penulisan karya tulis ini banyak hal yang penulis alami, dimana
suka dan duka selalu bergantian. Penulis tahu bahwa dalam penulisan karya
tulis ini banyak kekurangan dan
kelemahan. Tetapi penulis merasakan bahwa penulisan karya tulis ini merupakan
pengalaman berharga dan tidak terlupakan.
Karya
tulis ini dapat diselesaikan atas kerjasama, bantuan dan dukungan dari semua
pihak baik secara moral, materil, doa dan semangat yang mendukung penulisan
karya tulis ini sampai terselesaikan.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Negara Indonesia merupakan negara kepulauan, yang
terdiri dari ribuan pulau kecil dan sejumlah pulau besar yang terbentang dari Sabang
sampai Merauke. Letak, jarak dan jumlah pulau yang banyak, mempengaruhi kebudayaan masyarakat Indonesia,
sehingga wilayah Indonesia memiliki 500 jenis kebudayaan. Keberagaman ini harus
dipelihara karena merupakan salah satu ciri khas bangsa Indonesia di mata dunia
internasional. Keanekaragaman budaya sebaiknya dikelola dengan baik untuk
menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Keberagaman budaya dan etnik dapat
berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat
Indonesia. Tetapi jika keberagaman ini tidak dikelola dengan baik, maka konflik
akan mudah terjadi dan dapat memecah persatuan bangsa Indonesia. Untuk itu solidaritas
antara masyarakat perlu dikembangkan sehingga masyarakat dapat menerima perbedaan
satu sama lain. Masyarakat Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa, sehingga
masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat multietnik yaitu masyarakat
majemuk yang terdiri dari berbagai
kelompok masyarakat. Sejak proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia telah
banyak mengalami masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih-lebih
pada era reformasi, kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban dan masalah
bangsa Indonesia. Hal itu terbukti dengan munculnya masalah sosial yang berbau
SARA.
Masyarakat
Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya, secara logis akan mengalami
berbagai permasalahan, persentuhan antar budaya dan prasangka sosial yang akan
selalu terjadi karena permasalahan yang senantiasa terkait erat dengan hubungan
antar masyarakat yang satu dengan dengan masyarakat yang lain. Nilai-nilai yang
terkandung dalam kebudayaan menjadi acuan sikap dan perilaku manusia sebagai
makhluk individual yang tidak terlepas dari kaitannya pada kehidupan masyarakat
dengan orientasi kebudayaan yang khas.
Prasangka sosial
merupakan faktor yang potensial menciptakan konflik antar masyarakat multietnik.
Atas alasan demikian, prasangka sosial dapat dikategorikan sebagai ancaman yang
besar dan berbahaya bagi terbentuknya suatu masyarakat multietnik yang sehat.
Dalam rangka membentuk masyarakat plural (multietnic) yang sehat dan
damai, rendahnya prasangka adalah prasyarat penting. Contoh konflik antar etnik
yang diakibatkan oleh tinggingnya tingkat prasangka sosial dalam masyarakat, adalah
kerusuhan Sampit yang terjadi di Kalimantan yaitu konflik antara suku Dayak
(penduduk asli Kalimantan) dengan masyarakat Madura (pendatang).
Konflik SARA
merupakan isu yang sangat hangat berkembang di Indonesia karena konflik ini
dapat memecahkan semboyan persatuan bangsa Indonesia “BHINEKA TUNGGAL IKA” yang
artinya walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu. Konflik antar identitas,
gerakan separatis berbau diskriminasi suku, agama, ras bermunculan dan terjadi
dimana-mana (Suwarno, 1993).
Tingkat
solidaritas masyarakat Indonesia terutama generasi muda masih sangat rendah.
Masyarakat cenderung bersikap egois dan individualistik menyebabkan sikap ketidakpedulian dengan
lingkungan sekitarnya. Sehingga diperlukan peranan generasi muda dalam membawa
perubahan dan meningkatkan solidaritas pada masyarakat
1.2 Perumusan
Masalah
Adapun yang
menjadi perumusan masalah yaitu “Bagaimana peranan generasi muda dalam
meningkatkan solidaritas pada masyarakat multietnik”
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui
Bagaimanakah peranan generasi muda dalam meningkatkan solidaritas pada
masyarakat multietnik.
1.4 Manfaat
Manfaat
yang diharapkan dari karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1.
Secara teoritis hasil
karya tulis ini dapat memberikan sumbangan berupa pikiran bagi akademis,
terkhusus masalah solidaritas dalam masyarakat multietnik.
2.
Secara praktis dapat
menjadi sumbangan kepustakaan kepada instansi terkait dalam masalah solidaritas
dalam masyarakat multietnik.
BAB II
TELAAH
PUSTAKA
2.1 Generasi Muda Dalam
Masyarakat Dalam Masyarakat Multietnik
Secara hukum,
generasi muda diartikan sebagai manusia yang berusia di antara 15 sampai 30
tahun. Generasi muda adalah suatu generasi yang di pundaknya terbebani berbagai
macam harapan dari generasi lainnya. Hal ini dimengerti karena generasi muda
diharapkan sebagai generasi penerus, generasi yang akan melanjutkan perjuangan
generasi sebelumnya, generasi yang mengisi dan melanjutkan estafet pembangunan
(Amri Marzali, 2007).
Peran penting
dari seorang generasi muda adalah kemampuannya melakukan suatu perubahan. Perubahan menjadi indikator suatu
keberhasilan terhadap sebuah gerakan generasi muda. Keinginan akan suatu
perubahan melahirkan sosok pribadi yang berjiwa optimis. Optimis bahwa hari
depan pasti lebih baik.
Kedudukan
generasi muda dalam masyarakat adalah sebagai mahluk moral dan mahluk sosial.
Artinya beretika, bersusila, dijadikan sebagai barometer moral kehidupan bangsa
dan pengoreksi. Sebagai mahluk sosial artinya generasi muda tidak dapat berdiri
sendiri, hidup bersama-sama, dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma,
kepribadian, dan pandangan hidup yang dianut masyarakat (David Searas, 1999).
Jika dilihat
dari perannya di dalam masyarakat, generasi muda dapat dikategorikan dalam
beberapa bagian. Yakni:
1.
Jenis generasi muda yang urakan
Generasi
muda yang tidak ingin melakukan perubahan di dalam kebudayaannya. Tetapi ingin
memiliki kebebasan dan bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri.
2.
Jenis generasi muda yang nakal
Generasi muda yang tidak mempunyai minat
untuk mengadakan perubahan di dalam masyarakat ataupun di dalam kebudayaannya.
Melainkan berusaha memperoleh manfaat dari masyarakat dengan menggunkan tindakan
yang dianggap menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain.
3.
Jenis generasi muda yang radikal
Generasi muda yang ingin melakukan
perubahan atau revolusioner. Generasi muda yang tidak puas terhadap hal yang
sedang dialami, dan membuat perencanaan jangka panjang dalam bentuk tulisan
maupun tindakan dengan tujuan keadaan harus berubah sekarang juga.
4.
Jenis Generasi muda yang sholeh
Generasi muda yang setiap tingkah
lakunya berpegang teguh pada agamanya.
Untuk mencegah terjadinya peran
generasi muda yang menyimpang dari kebudayaanya, perlu diadakan sosialisasi
yang baik. Thomas Ford Hoult menyebutkan, bahwa proses sosialisasi adalah proses
belajar individu untuk bertingkah laku sesuai dengan standar yang terdapat
dalam kebudayaan
masyarakatnya. Melalui proses sosialisasi, seorang
generasi muda akan
terwarnai cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Dengan demikian,
tingkah laku seseorang akan dapat diramalkan. Dengan proses
sosialisasi, seseorang menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat
dan lingkungan budayanya.
2.2 Masalah Dalam Masyarakat
Multietnik
Menurut data
hasil sensus pemerintah terakhir tahun 2010, penduduk Indonesia berjumlah
237.556.363 yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia. Indonesia merupakan
salah satu negara di dunia yang memiliki karateristik sebagai negara
multietnik. Di Indonesia diperkirakan terdapat 316 suku bangsa dengan 250
bahasa daerah (Abdul Khafi, 2010). Bangsa Indonesia menyadari dan menghormati
adanya perbedaan-perbedaan tersebut. Tetapi perbedaan tersebut tidak
dipermasalahkan karena sejak dulu bangsa Indonesia mempunyai semboyan “Bhineka
Tunggal Ika”, yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu. Kebhinekan itu tetap
dalam ketunggal ikaan, yaitu niat kuat dan kemauan keras mewujudkan kesatuan
Indonesia dengan wawasan nusantara. Atas dasar itu, maka bangsa Indonesia
menyadari pentingnya persatuan bangsa, yang dalam arti satu tidak harus sama.
Dengan keberagaman ini Indonesia patut berbangga dengan kekayaan kebudayaan
yang dimilikinya. Tetapi meskipun demikian, negara Indonesia harus berhati-hati
karena jika tidak maka keberagaman etnik tersebut dapat menjadi bom waktu yang
siap meledak dan menghancurkan persatuan bangsa Indonesia sendiri. Kesadaran
etnik yang bermunculan di berbagai wilayah di tanah air akan mengarah pada
perbenturan peradaban bangsa kita. Masalah-masalah sosial akan memunculkan
konflik dalam masyarakat multietnik. Untuk itu diperlukan metode yang dapat
digunakan untuk mengatasi konflik berbasis etnik.
Konflik yang
selama ini terjadi di Indonesia, sebenarnya dapat dicegah sejak dulu melalui proses
sosialisasi dan pendidikan tetapi karena kurangnya perhatian dari pemerintah
dan masyarakat, akhirnya kedua proses tersebut tidak dapat berjalan dengan baik
yang akhirnya mengakibatkan konflik seperti konflik Aceh, Ambon, kerusuhan
Sampit dan konflik lainnya. Meskipun cara perundingan telah menyelesaikan
konflik tersebut, tetapi jika masyarakat terlebih-lebih generasi muda tidak diberikan
pendidikan solidaritas maka, konflik tersebut bukan tidak mungkin terjadi dimasa yang akan datang.
BAB
III
METODE
PENULISAN
Metode
yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode deskriptif. metode deskriptif
dapat memahami pemasalahan yangakan di bahas sehingga dapat memberikan gambaran
yang lebih mendalam tentang gejala-gejala dan fenomena-fenomena di antara masyarakat multietnik (Suyanto,
2005). Dalam hal ini yang di gambarkan adalah peranan generasi muda dalam
meningkatkan solidaritas pada masyarakat multi etnik.
Teknik
pengumpulan data yang diperlukan untuk menemukan data dan informasiyang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Bungin, 2011). Tehnik yang
digunakan yakni studi kepustakaan merupakan
suatu kegiatan pengumlan data dan informasi dari berbagai sumber seperti
buku yang memuat berbagai ragam kajian teori yang dibutuhkan.
BAB
IV
PEMBAHASAN
4.1
Masalah-masalah
masyarakat multietnik
Keberagaman
etnik di Indonesia, jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan terjadinya
konflik dan pertentangan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang
lain. Hal itu disebabkan oleh :
1. Menguatnya
Primordialisme dan Etnosentrisme
Primordialisme adalah sebuah pandangan
atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai
tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam
lingkungan pertamanya. Dalam kehidupanya sehari-hari suatu individu atau
kelompok etnik pasti akan melakukan interaksi sosial dengan masyarakat
disekitarnya yang memilik etnik yang berbeda. Dalam interaksi tersebut para
pelaku dari berbagai kelompok etnik akan menyadari bahwa terdapat perbedaan
kelompok di antara mereka dan akan cenderung memamerkan perbedaan etnik
masing-masing. Sikap primordialisme yang berlebihan tersebut akan memunculkan
sikap etnosentrisme. Sikap etnosentrisme adalah sikap membandingkan kebudayaan
lain dengan kebudayaan dirinya sendiri dengan menggunakan ukuran-ukuran yang berlaku
di dalam kebudayaannya. Dengan sikap etnosentrisme ini maka seorang individu
atau kelompok akan menganggap remeh kebudayaan lain karena dia merasa
kebudayaannyalah yang terbaik.
2. Ketidakadilan
Sosial
Ketidakadilan sosial merupakan masalah
serius, karena dalam masalah ini akan ada pihak-pihak yang merasa diuntungkan
dan pihak-pihak yang merasa dirugikan. Di zaman modern ini masyarakat semakin
sadar dengan hak-hak yang harus mereka dapatkan. Bukan hanya hak di bidang
politik tetapi juga hak di bidang ekonomi, misalnya pangan, kesehatan, atau
pekerjaan. Ketidakadilan sosial ini dapat menyebabkan konflik karena kelompok
yang merasa dirugikan atau disingkirkan akan menuntut hak-hak mereka dengan
cara-cara yang mereka anggap benar, ada yang melalu cara damai seperti perundingan
dan ada juga yang melalui jalan kekerasan seperti melakukan kerusuhan bahkan
pembantaian terhadap individu atau kelompok yang mereka anggap bertanggung
jawab atas ketidakadilan sosial yang mereka alami.
4.2
Cara pengendalian masalah sosial
dalam masyarakat multietnik
Konflik etnik yang terjadi sangat
merugikan bangsa Indonesia, karena dapat memecahkan persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia. Untuk itu dibutuhkan solusi agar masalah tersebut dapat
dikendalikan. Hal-hal yang dapat dilakukan :
1.
Sosialisasi
Sosialisasi kesadaran multietnik dapat
dilaksanakan melalui konsep proses sosial, yaitu hubungan antar individu, antar
kelompok atau individu dengan kelompok yang menimbulkan bentuk hubungan
tersebut. Dari hubungan ini diharapkan masyarakat dapat saling mengenal,
semakin akrab, lebih mudah bergaul, lebih percaya kepada pihak lain, dan
akhirnya dapat bekerja sama dan bersinergi.
2.
Membangun Budaya
Toleransi
Toleransi adalah kemampuan untuk
menerima dan menghargai adanya perbedaan. Kadar toleransi bersumber dari adanya
nilai empati yang sejak awal sudah ada di dalam hati setiap manusia. Empati
merupakan kemampuan hati untuk ikut bergembira ataupun berduka dengan
kegembiraan dan kedukaan orang lain. Semakin tinggi kadar empati seseorang, semakin
tinggi pula kemampuan orang itu membangun nilai toleransi.
3.
Pendidikan budaya
nasional
Pendidikan budaya nasional bertujuan
membuat orang berbudaya dan beradap. Pendidikan ini adalah kunci bagi pemecahan
masalah-masalah sosial, dimana masyarakat dapat mengenal budaya-budaya bangsa
yang beraneka ragam. Sehingga melalui
pendidikan ini masyarakat terkhusus generasi muda dapat mempertahankan dan
meningkatkan keselarasan hidup dalam pergaulan manusia. Semakin baik tingkat
pendidikan seseorang maka akan semakin mudah baginya menerima
perbedaan-perbedaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat multietnik.
4. Membina solidaritas dikalangan generasi muda
Generasi muda yang merupakan generasi
penerus bangsa memiliki tanggung jawab untuk menjaga keutuhan bangsa dengan
meningkatkan solidaritas diantara masyarakat. Peran penting dari generasi muda
adalah kemampuannya menciptakan perubahan, terlebih-lebih perubahan yang
menyangkut masalah-masalah sosial seperti menciptakan solidaritas di kalangan
generasi muda untuk mengurangi prasangka yang dapat mengakibatkan konflik
multietnik. Untuk menciptakan generesi
muda yang memiliki sikap solidaritas maka generasi muda harus mendapatkan
pendidikan multikultural yaitu, proses penanaman cara hidup untuk menghormati secara tulus,
dan toleran dalam keberagaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat
multietnik. Dengan mendapatkan pendidikan multikultural maka generasi muda
diharapkan mampu menjadi penengah diantara masyarakat dalam mengahadapi
konflik-konflik yang berbau suku antar golongan ras dan agama.
4.3 Masyarakat
Majemuk Dan Konflik Sosial
Furnival mengemukakan bahwa masyarakat
majemuk (plural societies) adalah
suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup
sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu dengan yang lain di dalam suatu
kesatuan politik (Nasikun, 1986).
Sebagai
kenyataan sosial, kemajemukan masyarakat memperlihatkan adanya karakteristik
atau sifat tertentu. Sifat-sifat tersebut dapat dilihat atau diamati dari luar.
Dengan kata lain, pengamatan dari luar terhadap sifat atau karakteristik
tertentu dari masyarakat membawa kita kepada kesimpulan bahwa masyarakat yang
sedang diamati adalah masyarakat majemuk. Sifat atau karakteristik tersebut
meliputi kemajemukan masyarakat berdasarkan ras, suku bangsa, klan, agama,
jenis kelamin, dan profesi.
Piere L. Van Berghe mengemukakan bahwa
masyarakat majemuk memiliki sifat dasar (Nasikun, 1985).
1.
Terjadinya
segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki kebudayaan/sub-kebudayaan,
yang berbeda antar masyarakat yang satu dengan yang lain.
2.
Memiliki
struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang sifatnya
non-komplementer.
3.
Di antara
kelompok masyarakat kurang mengembangkan konsesus atas nilai-nilai sosial dasar.
4.
Secara reaktif
sering kali terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang
lain.
5.
Secara reaktif,
integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling ketergantungan di dalam
bidang ekonomi.
6.
Adanya
dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain.
Mencermati
apa yang telah diuraikan, maka konflik sosial dapat terjadi melalui beberapa
fase.
1.
Fase pertama,
tahap pendahuluan. Pada fase ini faktor struktural telah menjadi lahan subur
yang kondusif untuk meledaknya konflik kekerasan antar etnik
2.
Fase kedua ,
tahap titik didih. Pada fase ini faktor struktural penyebab konflik kekerasan
telah benar-benar kondusif bagi meledaknya konfrontasi terbuka antar etnik yang
saling memendam rasa permusuhan
3.
Fase ketiga, konflik
kekerasan.
4.
Fase keempat,
peredaan konflik. Pada tahap ini setiap hal yang mengarah kepada timbulnya
konflik baru, harus segera ditangani sedini mungkin.
Gambaran tentang fase ini menunjukkan
bahwa konflik sosial dapat berhenti setelah mencapai fase yang keempat. Tetapi
sebenarnya konflik ini dapat diselesaikan tanpa harus mencapai fase yang
keempat dengan cara memanajemen konflik atau potensi konflik. Salah satu
bentuknya adalah melalui proses pembelajaran kepada para pemuda di dalam
lembaga pendidikan.
4.4 Strategi budaya masyarakat multietnis:
mutualisme dan kerja sama sinergis
Upaya untuk membentuk
suatu kebersamaan, kerjasama sinergis bangsa Indonesia dan membangun rasa
kekeluargaan, maka perasaan saling memiliki, perlu dikembangkan mulai dari
keluarga, lingkungan dan masyarakat (A.W.Widjaja, 1985). Misalnya dalam tingkat
keluarga dan lingkungan, prinsip kebersamaan dapat menggalang pertolongan dan
perlindungan, dalam menghadapi tantangan kehidupan yang berat, tidak saja
dibidang ekonomi tapi juga bidang kesehatan, pekerjaan, dan sebagainya.
Di bidang hukum, kasus-kasus penggusuran yang tidak
memihak rakyat minoritas dan merupakan kasus-kasus alienasi dan marginalisasi,
pelumpuhan dan pemiskinan terhadap suatu kelompok, merupakan hal-hal yang
bertentangan dengan mutualisme dan keadilan sosial, dan harus segera
dihentikan. Hal ini bertentangan dengan amanah Pembukaan UUD 1945: “…
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Penataan pola pikir perlu dilakukan terhadap
sistem hukum yang tidak dilandasi oleh keberpihakan dan perlindungan kepada
rakyat, sebagai perwujudan dari nilai-nilai dalam Pembukaan UUD 1945.
Di bidang
pendidikan, penataan pola pikir harus dilakukan dalam sistem pendidikan
nasional dengan tujuan menghilangkan unsur-unsur yang mendorong orientasi
persaingan yang berlebihan, atau bahkan menimbulkan semacam permusuhan.
Persaingan haruslah sebatas berlomba, bukan persaingan yang mengakibatkan
renggangnya kerukunan sosial. Penataan pola pikir dalam sistem pendidikan
nasional harus menumbuhkan pola kerjasama antar generasi muda, misalnya melalui praktek-praktek kegiatan belajar yang
diisi "proyek bersama" atau pelaksanaan kegiatan seni-budaya dan
rekreasi bersama antar sekolah-sekolah, sehingga dapat menanamkan sikap
solidaritas diantara generasi muda.
Modernisasi
tidak dapat dipisahkan dari pendidikan. Upaya bertahan hidup ditentukan oleh
pendidikan dan proses pembelajaran yang menyertainya. Dari yang dikemukakan di atas, pendidikan
merupakan faktor terpenting untuk proses pembentukan dan pemantapan identitas
nasional dan kesadaran nasional. Sosialisasi akan memformulasi mindset
masyarakat. Suatu kesalahan besar bahwa posisi dan peran kebudayaan dalam
pembangunan nasional telah direduksi dengan dipindahkannya Direktorat Jenderal
Kebudayaan ke luar Departemen Pendidikan Nasional. Oleh karena itu kini
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menyandang tugas berat sebagai lembaga
yang harus mentransformasikan nilai-nilai budaya ke dalam penyelenggaraan
pendidikan dan pembelajaran, sehingga kebudayaan tidak tereduksi menjadi
sekedar kesenian dan pariwisata. Dengan demikian pendidikan dan kebudayaan dapat tetap utuh
untuk berperan dan mampu berdialog dengan peradaban.
Di bidang
sosial-budaya, dalam konteks mutualisme dan perasaan saling memiliki, suatu hal
yang juga penting sebagai suatu proses
alamiah yang telah ikut memberikan pengaruh bagi kesadaran nasional dan
identitas nasional yaitu ketika kebersamaan memperoleh esensi persaudaraan (“brotherhood”)
dan “keluarga luas” (extended family) (John Storey, 2003). Dengan makin
meningkatnya perkawinan antar suku bangsa di tengah masyarakat kita, telah menimbulkan perasaan
saling menghargai dan kebersamaan, meskipun masing-masing pihak tetap
memelihara identitasnya.
4.5
Masyarakat Indonesia Sebagai Masyarakat
Multietnik
Masyarakat
Indonesia terdiri dari komunitas etnik yang berbeda-beda, Komunitas etnik
tersebut hidup terpisah-pisah dan masing-masing memiliki moralitasnya sendiri.
Secara antropologis masyarakat Indonesia
terdiri dari 500 suku bangsa dengan ciri-ciri bahasa dan budaya tersendiri.
Masyarakat Indonesia ditandai dengan beragamnya perangkat aturan nilai yang
digunakan untuk menata kehidupan sosial manusia dan masing-masing aturan nilai
tersebut hanya berlaku bagi orang-orang yang berada dalam budaya ataupun
wilayah tertentu sehinggga tidak ada sabuk pengikat kehidupan bersama.
Menurut
Smith (Marzali, 2007), masyarakat multietnik diikat dengan adanya dominasi
kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Jadi, dalam konteks ini Smith
menjelaskan bahwa telah terjadi diskriminasi rasial di dalam masyarakat
multietnik.
Indonesia
merupakan negara yang kaya akan suku, bahasa, agama, adat dan istiadat.
Sehingga Indonesia dapat disebut sebagai negara yang plural atau bersifat
majemuk. Oleh sebab itu, Indonesia sangat terkait erat dengan masalah keamanan
dan ketentraman yang tentu lebih sulit menjaganya daripada ketentraman dan keamanan
masyarakat yang homogen. Contohnya keragaman etnik dan agama di Ambon yang
telah menimbulkan sebuah konflik. Hal ini disebabkan masyarakat yang bersifat
etnosentris, yang justru menjadi faktor utama terjadinya berbagai keretakan
hubungan antarwarga.
Dalam
masyarakat ada dua kemungkinan yang dapat muncul yaitu kemungkinan menerima
atau menolak kemajemukan. Sikap yang lebih baik adalah menerima kemajemukan sebagai
bagian dari hidup masyarakat dan berusaha hidup berdampingan antar masyarakat
yang satu dengan masyarkat lain yang
berbeda ras, suku, budaya, agama, bahasa dan sebagainya.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Wilayah Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke
merupakan tempat bersemayamnya semangat Kebhinekaan Tunggal Ika yang memiliki
generasi muda yang harus diberdayakan, ditingkatkan, baik dalam bentuk produktifitas, mental dan
budayanya. Untuk itu diperlukan pertumbuhan pola pikir yang dilandasi oleh
prinsip mutualisme, kerja sama sinergis, saling menghargai dan memiliki, untuk menghindari pola pikir persaingan yang
tidak sehat. Namun sebaliknya perlu bersama-sama meningkatkan daya saing dalam
tujuan peningkatan kualitas sosial dan kemajemukan masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi
berbagai permasalahan sosial .
Membangun
kebudayaan nasional harus mengarah kepada suatu strategi pendekatan sistem
sosial dan budaya kepada generasi muda.
Generasi muda
diharapkan mampu menjalin hubungan solidaritas yang baik antara
kelompok-kelompok di dalam masyarakat. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh
pendiri bangsa ini, dengan memberi keteladanan yang baik dalam berpikir, bertindak,
agar berbagai macam perbedaan dijadikan kekayaan khasanah bangsa. Perbedaan
SARA memang berpotensi menimbulkan konflik, namun disisi lain juga berpotensi
menimbulkan kerukunan.
Oleh karena itu
pemerintah terutama generasi muda diharapkan mampu menumbuhkan rasa solidaritas
dan menjalin persatuan untuk mewujudkan kebersamaan dalam masyarakat
multietnik.
5.2 Saran
1. Mengingat
sering terjadinya benturan antara etnik di Indonesia yang menimbulkan konflik
sosial, maka disarankan perlunya “dialog” antar etnis sebagai langkah pertama
menuju kerukunan dan perdamaian. Dialog tersebut memerlukan suatu forum
pertemuan, berarti perlu dibentuk suatu lembaga atau organisasi yang disepakati
oleh perwakilan etnik dan diharapkan dalam lembaga atau organisasi ini, generasi
muda dapat terlibat secara langsung, untuk menanamkan rasa solidaritas,
sehingga dapat menghindari terjadinya konflik di masa-masa yang akan datang.
2. Penanggulangan
masalah sosial tidak hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan juga merupakan
tanggung jawab seluruh anggota masyarakat terlebih-lebih para generasi muda.
Untuk itu, rasa solidaritas dan toleransi diantara generasi muda perlu
dikembangkan sejak dini baik melalui keluarga maupun pendidikan di
sekolah-sekolah.
3. Diperlukan
penumbuhan pola pikir yang dilandasi oleh prinsip mutualisme, kerjasama, saling
menghargai, memiliki, dan menghindarkan pola pikir persaingan tidak sehat,
namun sebaliknya perlu secara bersama-sama berlomba meningkatkan daya saing
dalam tujuan peningkatan kualitas sosial budaya bangsa.
4. Dengan
semakin tingginya rasa solidaritas dan toleransi maka generasi muda sebagai
generasi penerus diharapkan dapat membawa perubahan ditengah-tengah masyarakat.
Untuk itu pemerintah sebaiknya membina para generasi muda agar betul-betul menjadi
pembawa perubahan untuk menghindari konflik di masa-masa yang akan datang
melalui sosialisasi-sosialisasi yang berkaitan dengan peran generasi muda di
tengah-tengah masyarakat multietnik.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdulsyani.
1987. Sosiologi. Kelompok dan Masalah
Sosial. Jakarta: Fajar Agung.
Hasan
Shadily. 1967. Sosiologi untuk Masyarakat
Indonesia. Jakarta: PT. Pembangunan.
Lysen, A. 1967. Individu dan Masyarakat. Bandung: Sumur Bandung.
Marzali, Amri. 2007. Antropologi dan Pembangunan Indonesia.
Jakarta: Kencana
Masinambow,
E.K.M. 2003. Hukum dan Kemajemukan
Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
O. Seares, David, dkk. 1999. Psikologi Sosial. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Piliang, Yasfat Amir. 1998. Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang Melenium
Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan.
Soekanto Soerjono. 1982. Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: PT.
Rajagravindo
Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam.
Sunarta, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Suwarno, P.J. 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Sytra, Abdul Khafi. 2010. Buku Pintar Sosiologi. Yogyakarta: Gara
Ilmu.
Persada.
Widjaja, A.W. 1985. Manusia Indonesia: Individu, Keluarga dan Masyarakat. Jakarta:
Penerbit Akademika Pressindo.
1 komentar:
Harrah's Casino & Racetrack - Mapyro
Harrah's 성남 출장샵 Casino & Racetrack is 충주 출장샵 located in Atlantic City, 전라남도 출장안마 New Jersey. Get 군포 출장안마 directions, reviews and information for Harrah's Casino 군포 출장안마 & Racetrack in
Posting Komentar