Jumat, 05 Oktober 2012

PERAN GENERASI MUDA DALAM MENINGKATKAN SOLIDARITAS PADA MASYARAKAT MULTIETNIK


PERAN GENERASI MUDA DALAM MENINGKATKAN SOLIDARITAS PADA MASYARAKAT MULTIETNIK



Oleh 

ANUGRAH KRISMAN JAYA ZEBUA
(NPM : 11212004)
              (KELAS : 1EA13)








KATA PENGANTAR



            Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas RidhoNya yang melimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya tulis ini yang berjudul “peran pemuda dalam meningkatkan solidaritas pada masyarakat multietnik”.

            Dalam mengerjakan penulisan karya tulis ini banyak hal yang penulis alami, dimana suka dan duka selalu bergantian. Penulis tahu bahwa dalam penulisan karya tulis  ini banyak kekurangan dan kelemahan. Tetapi penulis merasakan bahwa penulisan karya tulis ini merupakan pengalaman berharga dan tidak terlupakan.

            Karya tulis ini dapat diselesaikan atas kerjasama, bantuan dan dukungan dari semua pihak baik secara moral, materil, doa dan semangat yang mendukung penulisan karya tulis  ini sampai terselesaikan.




























BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Negara  Indonesia merupakan negara kepulauan, yang terdiri dari ribuan pulau kecil dan sejumlah pulau besar yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Letak, jarak dan jumlah pulau yang  banyak, mempengaruhi kebudayaan masyarakat Indonesia, sehingga wilayah Indonesia memiliki 500 jenis kebudayaan. Keberagaman ini harus dipelihara karena merupakan salah satu ciri khas bangsa Indonesia di mata dunia internasional. Keanekaragaman budaya sebaiknya dikelola dengan baik untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Keberagaman budaya dan etnik dapat berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat Indonesia. Tetapi jika keberagaman ini tidak dikelola dengan baik, maka konflik akan mudah terjadi dan dapat memecah persatuan bangsa Indonesia. Untuk itu solidaritas antara masyarakat perlu dikembangkan sehingga masyarakat dapat menerima perbedaan satu sama lain. Masyarakat Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa, sehingga masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat multietnik yaitu masyarakat majemuk yang terdiri  dari berbagai kelompok masyarakat. Sejak proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia telah banyak mengalami masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih-lebih pada era reformasi, kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban dan masalah bangsa Indonesia. Hal itu terbukti dengan munculnya masalah sosial yang berbau SARA.
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya, secara logis akan mengalami berbagai permasalahan, persentuhan antar budaya dan prasangka sosial yang akan selalu terjadi karena permasalahan yang senantiasa terkait erat dengan hubungan antar masyarakat yang satu dengan dengan masyarakat yang lain. Nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan menjadi acuan sikap dan perilaku manusia sebagai makhluk individual yang tidak terlepas dari kaitannya pada kehidupan masyarakat dengan orientasi kebudayaan yang khas.
Prasangka sosial merupakan faktor yang potensial menciptakan konflik antar masyarakat multietnik. Atas alasan demikian, prasangka sosial dapat dikategorikan sebagai ancaman yang besar dan berbahaya bagi terbentuknya suatu masyarakat multietnik yang sehat. Dalam rangka membentuk masyarakat plural (multietnic) yang sehat dan damai, rendahnya prasangka adalah prasyarat penting. Contoh konflik antar etnik yang diakibatkan oleh tinggingnya tingkat prasangka sosial dalam masyarakat, adalah kerusuhan Sampit yang terjadi di Kalimantan yaitu konflik antara suku Dayak (penduduk asli Kalimantan) dengan masyarakat Madura (pendatang).
Konflik SARA merupakan isu yang sangat hangat berkembang di Indonesia karena konflik ini dapat memecahkan semboyan persatuan bangsa Indonesia “BHINEKA TUNGGAL IKA” yang artinya walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu. Konflik antar identitas, gerakan separatis berbau diskriminasi suku, agama, ras bermunculan dan terjadi dimana-mana (Suwarno, 1993).
Tingkat solidaritas masyarakat Indonesia terutama generasi muda masih sangat rendah. Masyarakat cenderung bersikap egois dan individualistik  menyebabkan sikap ketidakpedulian dengan lingkungan sekitarnya. Sehingga diperlukan peranan generasi muda dalam membawa perubahan dan meningkatkan solidaritas pada masyarakat
1.2  Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi perumusan masalah yaitu “Bagaimana peranan generasi muda dalam meningkatkan solidaritas pada masyarakat multietnik”
1.3  Tujuan
Untuk mengetahui Bagaimanakah peranan generasi muda dalam meningkatkan solidaritas pada masyarakat multietnik.

1.4  Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1.        Secara teoritis hasil karya tulis ini dapat memberikan sumbangan berupa pikiran bagi akademis, terkhusus masalah solidaritas dalam masyarakat multietnik.
2.        Secara praktis dapat menjadi sumbangan kepustakaan kepada instansi terkait dalam masalah solidaritas dalam masyarakat multietnik.

BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1 Generasi Muda Dalam Masyarakat Dalam Masyarakat Multietnik
Secara hukum, generasi muda diartikan sebagai manusia yang berusia di antara 15 sampai 30 tahun. Generasi muda adalah suatu generasi yang di pundaknya terbebani berbagai macam harapan dari generasi lainnya. Hal ini dimengerti karena generasi muda diharapkan sebagai generasi penerus, generasi yang akan melanjutkan perjuangan generasi sebelumnya, generasi yang mengisi dan melanjutkan estafet pembangunan (Amri Marzali, 2007).
Peran penting dari seorang generasi muda adalah kemampuannya melakukan suatu perubahan. Perubahan menjadi indikator suatu keberhasilan terhadap sebuah gerakan generasi muda. Keinginan akan suatu perubahan melahirkan sosok pribadi yang berjiwa optimis. Optimis bahwa hari depan pasti lebih baik.
Kedudukan generasi muda dalam masyarakat adalah sebagai mahluk moral dan mahluk sosial. Artinya beretika, bersusila, dijadikan sebagai barometer moral kehidupan bangsa dan pengoreksi. Sebagai mahluk sosial artinya generasi muda tidak dapat berdiri sendiri, hidup bersama-sama, dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma, kepribadian, dan pandangan hidup yang dianut masyarakat (David Searas, 1999).
Jika dilihat dari perannya di dalam masyarakat, generasi muda dapat dikategorikan dalam beberapa bagian. Yakni:


1.        Jenis generasi muda yang urakan
Generasi muda yang tidak ingin melakukan perubahan di dalam kebudayaannya. Tetapi ingin memiliki kebebasan dan bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri.
2.        Jenis generasi muda yang nakal
Generasi muda yang tidak mempunyai minat untuk mengadakan perubahan di dalam masyarakat ataupun di dalam kebudayaannya. Melainkan berusaha memperoleh manfaat dari masyarakat dengan menggunkan tindakan yang dianggap menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain.
3.        Jenis generasi muda yang radikal
Generasi muda yang ingin melakukan perubahan atau revolusioner. Generasi muda yang tidak puas terhadap hal yang sedang dialami, dan membuat perencanaan jangka panjang dalam bentuk tulisan maupun tindakan dengan tujuan keadaan harus berubah sekarang juga.
4.        Jenis Generasi muda yang  sholeh
Generasi muda yang setiap tingkah lakunya berpegang teguh pada agamanya.

            Untuk mencegah terjadinya peran generasi muda yang menyimpang dari kebudayaanya, perlu diadakan sosialisasi yang baik. Thomas Ford Hoult menyebutkan, bahwa proses sosialisasi adalah proses belajar individu untuk bertingkah laku sesuai dengan standar yang terdapat dalam kebudayaan masyarakatnya. Melalui proses sosialisasi, seorang generasi muda akan terwarnai cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Dengan demikian, tingkah laku seseorang akan dapat diramalkan. Dengan proses sosialisasi, seseorang menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya.

2.2 Masalah Dalam Masyarakat Multietnik
Menurut data hasil sensus pemerintah terakhir tahun 2010, penduduk Indonesia berjumlah 237.556.363 yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki karateristik sebagai negara multietnik. Di Indonesia diperkirakan terdapat 316 suku bangsa dengan 250 bahasa daerah (Abdul Khafi, 2010). Bangsa Indonesia menyadari dan menghormati adanya perbedaan-perbedaan tersebut. Tetapi perbedaan tersebut tidak dipermasalahkan karena sejak dulu bangsa Indonesia mempunyai semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu. Kebhinekan itu tetap dalam ketunggal ikaan, yaitu niat kuat dan kemauan keras mewujudkan kesatuan Indonesia dengan wawasan nusantara. Atas dasar itu, maka bangsa Indonesia menyadari pentingnya persatuan bangsa, yang dalam arti satu tidak harus sama. Dengan keberagaman ini Indonesia patut berbangga dengan kekayaan kebudayaan yang dimilikinya. Tetapi meskipun demikian, negara Indonesia harus berhati-hati karena jika tidak maka keberagaman etnik tersebut dapat menjadi bom waktu yang siap meledak dan menghancurkan persatuan bangsa Indonesia sendiri. Kesadaran etnik yang bermunculan di berbagai wilayah di tanah air akan mengarah pada perbenturan peradaban bangsa kita. Masalah-masalah sosial akan memunculkan konflik dalam masyarakat multietnik. Untuk itu diperlukan metode yang dapat digunakan untuk mengatasi konflik berbasis etnik.
Konflik yang selama ini terjadi di Indonesia, sebenarnya dapat dicegah sejak dulu melalui proses sosialisasi dan pendidikan tetapi karena kurangnya perhatian dari pemerintah dan masyarakat, akhirnya kedua proses tersebut tidak dapat berjalan dengan baik yang akhirnya mengakibatkan konflik seperti konflik Aceh, Ambon, kerusuhan Sampit dan konflik lainnya. Meskipun cara perundingan telah menyelesaikan konflik tersebut, tetapi jika masyarakat terlebih-lebih generasi muda tidak diberikan pendidikan solidaritas maka, konflik tersebut bukan tidak mungkin  terjadi dimasa yang akan datang.

















BAB III
METODE PENULISAN
            Metode yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini  adalah metode deskriptif. metode deskriptif dapat memahami pemasalahan yangakan di bahas sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang gejala-gejala dan fenomena-fenomena  di antara masyarakat multietnik (Suyanto, 2005). Dalam hal ini yang di gambarkan adalah peranan generasi muda dalam meningkatkan solidaritas pada masyarakat multi etnik.
            Teknik pengumpulan data yang diperlukan untuk menemukan data dan informasiyang dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Bungin, 2011). Tehnik yang digunakan yakni studi kepustakaan merupakan  suatu kegiatan pengumlan data dan informasi dari berbagai sumber seperti buku yang memuat berbagai ragam kajian teori yang dibutuhkan.


















BAB IV
PEMBAHASAN

4.1         Masalah-masalah masyarakat multietnik
Keberagaman etnik di Indonesia, jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan terjadinya konflik dan pertentangan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Hal itu disebabkan oleh :
1.    Menguatnya Primordialisme dan Etnosentrisme
Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya. Dalam kehidupanya sehari-hari suatu individu atau kelompok etnik pasti akan melakukan interaksi sosial dengan masyarakat disekitarnya yang memilik etnik yang berbeda. Dalam interaksi tersebut para pelaku dari berbagai kelompok etnik akan menyadari bahwa terdapat perbedaan kelompok di antara mereka dan akan cenderung memamerkan perbedaan etnik masing-masing. Sikap primordialisme yang berlebihan tersebut akan memunculkan sikap etnosentrisme. Sikap etnosentrisme adalah sikap membandingkan kebudayaan lain dengan kebudayaan dirinya sendiri dengan menggunakan ukuran-ukuran yang berlaku di dalam kebudayaannya. Dengan sikap etnosentrisme ini maka seorang individu atau kelompok akan menganggap remeh kebudayaan lain karena dia merasa kebudayaannyalah yang terbaik.
2.    Ketidakadilan Sosial
Ketidakadilan sosial merupakan masalah serius, karena dalam masalah ini akan ada pihak-pihak yang merasa diuntungkan dan pihak-pihak yang merasa dirugikan. Di zaman modern ini masyarakat semakin sadar dengan hak-hak yang harus mereka dapatkan. Bukan hanya hak di bidang politik tetapi juga hak di bidang ekonomi, misalnya pangan, kesehatan, atau pekerjaan. Ketidakadilan sosial ini dapat menyebabkan konflik karena kelompok yang merasa dirugikan atau disingkirkan akan menuntut hak-hak mereka dengan cara-cara yang mereka anggap benar, ada yang melalu cara damai seperti perundingan dan ada juga yang melalui jalan kekerasan seperti melakukan kerusuhan bahkan pembantaian terhadap individu atau kelompok yang mereka anggap bertanggung jawab atas ketidakadilan sosial yang mereka alami.

4.2     Cara pengendalian masalah sosial dalam  masyarakat multietnik
Konflik etnik yang terjadi sangat merugikan bangsa Indonesia, karena dapat memecahkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Untuk itu dibutuhkan solusi agar masalah tersebut dapat dikendalikan. Hal-hal yang dapat dilakukan :
1.    Sosialisasi
Sosialisasi kesadaran multietnik dapat dilaksanakan melalui konsep proses sosial, yaitu hubungan antar individu, antar kelompok atau individu dengan kelompok yang menimbulkan bentuk hubungan tersebut. Dari hubungan ini diharapkan masyarakat dapat saling mengenal, semakin akrab, lebih mudah bergaul, lebih percaya kepada pihak lain, dan akhirnya dapat bekerja sama dan bersinergi.
2.    Membangun Budaya Toleransi
Toleransi adalah kemampuan untuk menerima dan menghargai adanya perbedaan. Kadar toleransi bersumber dari adanya nilai empati yang sejak awal sudah ada di dalam hati setiap manusia. Empati merupakan kemampuan hati untuk ikut bergembira ataupun berduka dengan kegembiraan dan kedukaan orang lain. Semakin tinggi kadar empati seseorang, semakin tinggi pula kemampuan orang itu membangun nilai toleransi.
3.    Pendidikan budaya nasional
Pendidikan budaya nasional bertujuan membuat orang berbudaya dan beradap. Pendidikan ini adalah kunci bagi pemecahan masalah-masalah sosial, dimana masyarakat dapat mengenal budaya-budaya bangsa yang beraneka ragam.  Sehingga melalui pendidikan ini masyarakat terkhusus generasi muda dapat mempertahankan dan meningkatkan keselarasan hidup dalam pergaulan manusia. Semakin baik tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin mudah baginya menerima perbedaan-perbedaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat multietnik.


          4.    Membina solidaritas dikalangan generasi muda
Generasi muda yang merupakan generasi penerus bangsa memiliki tanggung jawab untuk menjaga keutuhan bangsa dengan meningkatkan solidaritas diantara masyarakat. Peran penting dari generasi muda adalah kemampuannya menciptakan perubahan, terlebih-lebih perubahan yang menyangkut masalah-masalah sosial seperti menciptakan solidaritas di kalangan generasi muda untuk mengurangi prasangka yang dapat mengakibatkan konflik multietnik.  Untuk menciptakan generesi muda yang memiliki sikap solidaritas maka generasi muda harus mendapatkan pendidikan multikultural yaitu, proses penanaman  cara hidup untuk menghormati secara tulus, dan toleran dalam keberagaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat multietnik. Dengan mendapatkan pendidikan multikultural maka generasi muda diharapkan mampu menjadi penengah diantara masyarakat dalam mengahadapi konflik-konflik yang berbau suku antar golongan ras dan agama.

4.3     Masyarakat Majemuk Dan Konflik Sosial
Furnival mengemukakan bahwa masyarakat majemuk (plural societies) adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu dengan yang lain di dalam suatu kesatuan politik (Nasikun, 1986).
          Sebagai kenyataan sosial, kemajemukan masyarakat memperlihatkan adanya karakteristik atau sifat tertentu. Sifat-sifat tersebut dapat dilihat atau diamati dari luar. Dengan kata lain, pengamatan dari luar terhadap sifat atau karakteristik tertentu dari masyarakat membawa kita kepada kesimpulan bahwa masyarakat yang sedang diamati adalah masyarakat majemuk. Sifat atau karakteristik tersebut meliputi kemajemukan masyarakat berdasarkan ras, suku bangsa, klan, agama, jenis kelamin, dan profesi.
             Piere L. Van Berghe mengemukakan bahwa masyarakat majemuk memiliki sifat dasar (Nasikun, 1985).

1.        Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki kebudayaan/sub-kebudayaan, yang berbeda antar masyarakat yang satu dengan yang lain.
2.        Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang sifatnya non-komplementer.
3.        Di antara kelompok masyarakat kurang mengembangkan konsesus atas nilai-nilai sosial dasar.
4.        Secara reaktif sering kali terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
5.        Secara reaktif, integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
6.        Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain.

          Mencermati apa yang telah diuraikan, maka konflik sosial dapat terjadi melalui beberapa fase.
1.        Fase pertama, tahap pendahuluan. Pada fase ini faktor struktural telah menjadi lahan subur yang kondusif untuk meledaknya konflik kekerasan antar etnik
2.        Fase kedua , tahap titik didih. Pada fase ini faktor struktural penyebab konflik kekerasan telah benar-benar kondusif bagi meledaknya konfrontasi terbuka antar etnik yang saling memendam rasa permusuhan
3.        Fase ketiga, konflik kekerasan.
4.        Fase keempat, peredaan konflik. Pada tahap ini setiap hal yang mengarah kepada timbulnya konflik baru, harus segera ditangani sedini mungkin.

Gambaran tentang fase ini menunjukkan bahwa konflik sosial dapat berhenti setelah mencapai fase yang keempat. Tetapi sebenarnya konflik ini dapat diselesaikan tanpa harus mencapai fase yang keempat dengan cara memanajemen konflik atau potensi konflik. Salah satu bentuknya adalah melalui proses pembelajaran kepada para pemuda di dalam lembaga pendidikan.

4.4     Strategi budaya masyarakat multietnis: mutualisme dan kerja sama sinergis
Upaya untuk membentuk suatu kebersamaan, kerjasama sinergis bangsa Indonesia dan membangun rasa kekeluargaan, maka perasaan saling memiliki, perlu dikembangkan mulai dari keluarga, lingkungan dan masyarakat (A.W.Widjaja, 1985). Misalnya dalam tingkat keluarga dan lingkungan, prinsip kebersamaan dapat menggalang pertolongan dan perlindungan, dalam menghadapi tantangan kehidupan yang berat, tidak saja dibidang ekonomi tapi juga bidang kesehatan, pekerjaan, dan sebagainya.   
Di bidang hukum, kasus-kasus penggusuran yang tidak memihak rakyat minoritas dan merupakan kasus-kasus alienasi dan marginalisasi, pelumpuhan dan pemiskinan terhadap suatu kelompok, merupakan hal-hal yang bertentangan dengan mutualisme dan keadilan sosial, dan harus segera dihentikan. Hal ini bertentangan dengan amanah Pembukaan UUD 1945: “… melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”.  Penataan pola pikir perlu dilakukan terhadap sistem hukum yang tidak dilandasi oleh keberpihakan dan perlindungan kepada rakyat, sebagai perwujudan dari nilai-nilai dalam Pembukaan UUD 1945.
Di bidang pendidikan, penataan pola pikir harus dilakukan dalam sistem pendidikan nasional dengan tujuan menghilangkan unsur-unsur yang mendorong orientasi persaingan yang berlebihan, atau bahkan menimbulkan semacam permusuhan. Persaingan haruslah sebatas berlomba, bukan persaingan yang mengakibatkan renggangnya kerukunan sosial. Penataan pola pikir dalam sistem pendidikan nasional harus menum­buhkan pola kerjasama antar generasi muda, misalnya  melalui praktek-praktek kegiatan belajar yang diisi "proyek bersama" atau pelaksanaan kegiatan seni-budaya dan rekreasi bersama antar sekolah-sekolah, sehingga dapat menanamkan sikap solidaritas diantara generasi muda.         
Modernisasi tidak dapat dipisahkan dari pendidikan. Upaya bertahan hidup ditentukan oleh pendidikan dan proses pembelajaran yang menyertainya. Dari  yang dikemukakan di atas, pendidikan merupakan faktor terpenting untuk proses pembentukan dan pemantapan identitas nasional dan kesadaran nasional. Sosialisasi akan memformulasi mindset masyarakat. Suatu kesalahan besar bahwa posisi dan peran kebudayaan dalam pembangunan nasional telah direduksi dengan dipindahkannya Direktorat Jenderal Kebudayaan ke luar Departemen Pendidikan Nasional. Oleh karena itu kini Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menyandang tugas berat sebagai lembaga yang harus mentransformasikan nilai-nilai budaya ke dalam penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran, sehingga kebudayaan tidak tereduksi menjadi sekedar kesenian dan pariwisata. Dengan demikian  pendidikan dan kebudayaan dapat tetap utuh untuk berperan dan mampu berdialog dengan peradaban.
Di bidang sosial-budaya, dalam konteks mutualisme dan perasaan saling memiliki, suatu hal yang juga penting sebagai suatu  proses alamiah yang telah ikut memberikan pengaruh bagi kesadaran nasional dan identitas nasional yaitu ketika kebersamaan memperoleh esensi persaudaraan (“brotherhood”) dan “keluarga luas” (extended family) (John Storey, 2003). Dengan makin meningkatnya perkawinan antar suku bangsa di tengah  masyarakat kita, telah menimbulkan perasaan saling menghargai dan kebersamaan, meskipun masing-masing pihak tetap memelihara identitasnya.

4.5     Masyarakat Indonesia Sebagai Masyarakat Multietnik
Masyarakat Indonesia terdiri dari komunitas etnik yang berbeda-beda, Komunitas etnik tersebut hidup terpisah-pisah dan masing-masing memiliki moralitasnya sendiri. Secara antropologis masyarakat  Indonesia terdiri dari 500 suku bangsa dengan ciri-ciri bahasa dan budaya tersendiri. Masyarakat Indonesia ditandai dengan beragamnya perangkat aturan nilai yang digunakan untuk menata kehidupan sosial manusia dan masing-masing aturan nilai tersebut hanya berlaku bagi orang-orang yang berada dalam budaya ataupun wilayah tertentu sehinggga tidak ada sabuk pengikat kehidupan bersama.
Menurut Smith (Marzali, 2007), masyarakat multietnik diikat dengan adanya dominasi kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Jadi, dalam konteks ini Smith menjelaskan bahwa telah terjadi diskriminasi rasial di dalam masyarakat multietnik.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan suku, bahasa, agama, adat dan istiadat. Sehingga Indonesia dapat disebut sebagai negara yang plural atau bersifat majemuk. Oleh sebab itu, Indonesia sangat terkait erat dengan masalah keamanan dan ketentraman yang tentu lebih sulit menjaganya daripada ketentraman dan keamanan masyarakat yang homogen. Contohnya keragaman etnik dan agama di Ambon yang telah menimbulkan sebuah konflik. Hal ini disebabkan masyarakat yang bersifat etnosentris, yang justru menjadi faktor utama terjadinya berbagai keretakan hubungan antarwarga.
Dalam masyarakat ada dua kemungkinan yang dapat muncul yaitu kemungkinan menerima atau menolak kemajemukan. Sikap yang lebih baik adalah menerima kemajemukan sebagai bagian dari hidup masyarakat dan berusaha hidup berdampingan antar masyarakat yang satu dengan masyarkat lain  yang berbeda ras, suku, budaya, agama, bahasa dan sebagainya.
 


BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Wilayah Indonesia  yang terbentang dari Sabang sampai Merauke merupakan tempat bersemayamnya semangat Kebhinekaan Tunggal Ika yang memiliki generasi muda yang harus diberdayakan, ditingkatkan,  baik dalam bentuk produktifitas, mental dan budayanya. Untuk itu diperlukan pertumbuhan pola pikir yang dilandasi oleh prinsip mutualisme, kerja sama sinergis, saling menghargai dan memiliki,  untuk menghindari pola pikir persaingan yang tidak sehat. Namun sebaliknya perlu bersama-sama meningkatkan daya saing dalam tujuan peningkatan kualitas sosial dan kemajemukan  masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi berbagai permasalahan sosial .
Membangun kebudayaan nasional harus mengarah kepada suatu strategi pendekatan sistem sosial dan budaya kepada generasi muda.
Generasi muda diharapkan mampu menjalin hubungan solidaritas yang baik antara kelompok-kelompok di dalam masyarakat. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendiri bangsa ini, dengan memberi keteladanan yang baik dalam berpikir, bertindak, agar berbagai macam perbedaan dijadikan kekayaan khasanah bangsa. Perbedaan SARA memang berpotensi menimbulkan konflik, namun disisi lain juga berpotensi menimbulkan kerukunan.
Oleh karena itu pemerintah terutama generasi muda diharapkan mampu menumbuhkan rasa solidaritas dan menjalin persatuan untuk mewujudkan kebersamaan dalam masyarakat multietnik.

5.2 Saran
1.      Mengingat sering terjadinya benturan antara etnik di Indonesia yang menimbulkan konflik sosial, maka disarankan perlunya “dialog” antar etnis sebagai langkah pertama menuju kerukunan dan perdamaian. Dialog tersebut memerlukan suatu forum pertemuan, berarti perlu dibentuk suatu lembaga atau organisasi yang disepakati oleh perwakilan etnik dan diharapkan dalam lembaga atau organisasi ini, generasi muda dapat terlibat secara langsung, untuk menanamkan rasa solidaritas, sehingga dapat menghindari terjadinya konflik di masa-masa yang akan datang.

2.      Penanggulangan masalah sosial tidak hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan juga merupakan tanggung jawab seluruh anggota masyarakat terlebih-lebih para generasi muda. Untuk itu, rasa solidaritas dan toleransi diantara generasi muda perlu dikembangkan sejak dini baik melalui keluarga maupun pendidikan di sekolah-sekolah.

3.      Diperlukan penumbuhan pola pikir yang dilandasi oleh prinsip mutualisme, kerjasama, saling menghargai, memiliki, dan menghindarkan pola pikir persaingan tidak sehat, namun sebaliknya perlu secara bersama-sama berlomba meningkatkan daya saing dalam tujuan peningkatan kualitas sosial budaya bangsa.

4.      Dengan semakin tingginya rasa solidaritas dan toleransi maka generasi muda sebagai generasi penerus diharapkan dapat membawa perubahan ditengah-tengah masyarakat. Untuk itu pemerintah sebaiknya membina para generasi muda agar betul-betul menjadi pembawa perubahan untuk menghindari konflik di masa-masa yang akan datang melalui sosialisasi-sosialisasi yang berkaitan dengan peran generasi muda di tengah-tengah masyarakat multietnik.










DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. 1987. Sosiologi. Kelompok dan Masalah Sosial. Jakarta: Fajar Agung.

Hasan Shadily. 1967. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT. Pembangunan.

Lysen, A. 1967. Individu dan Masyarakat. Bandung: Sumur Bandung.

Marzali, Amri. 2007. Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Kencana
Masinambow, E.K.M. 2003. Hukum dan Kemajemukan Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

O. Seares, David, dkk. 1999. Psikologi Sosial. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Piliang, Yasfat Amir. 1998. Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang Melenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan.
Soekanto Soerjono. 1982. Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rajagravindo
Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam.
Sunarta, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Suwarno, P.J. 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Sytra, Abdul Khafi. 2010. Buku Pintar Sosiologi. Yogyakarta: Gara Ilmu.
Persada. 
Widjaja, A.W. 1985. Manusia Indonesia: Individu, Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo.









1 komentar:

tabbyrackers mengatakan...

Harrah's Casino & Racetrack - Mapyro
Harrah's 성남 출장샵 Casino & Racetrack is 충주 출장샵 located in Atlantic City, 전라남도 출장안마 New Jersey. Get 군포 출장안마 directions, reviews and information for Harrah's Casino 군포 출장안마 & Racetrack in